Hohoho, selamat malam, sesi kali ini akan menjelaskan tentang kebudayaan indonesia adiluhung berarti Lima Tarian Klasik Keraton dalam Langen Beksa Adiluhung Keraton Nusantara simak selengkapnya
22 Mei 2016 16:46 Diperbarui: 23 Mei 2016 22:27 0 7 Mohon Tunggu...
Ketika kita menghadiri suatu daftar pernikahan, acap kali kita abai dengan prosesi yang dilakukan keluarga mempelai. Kita cenderung memadai membekali diri dengan ilmu: budaya mana yang dipakai? Selebihnya kita tak terlalu peduli, alias apalagi tak mau tahu, seperti segala apa dan bagaimana prosesi tersebut memberi makna (dimaknai) pada kehidupan. Padahal, dalam prosesi budaya harmonis pengantin tersebut, terdapat banyak banget filosofi spiritual bersama ajaran berjiwa yang dapat kita pelajari. Dan itulah alpa ahad dari makna kebudayaan, tradisi temurun, yang sekurang-kurangnya lagi dilestarikan hingga kini.
Salah ahad yang lagi hirau akan kebudayaan Indonesia, khususnya tradisi keraton adalah Paguyuban Catur Sagotra Nusantara (Trah Agung Mataram). Pada 21-25 September 2014, bertempat di Museum Tekstil Jakarta, Paguyuban Catur Sagotra Nusantara (PCSN) menghamparkan sebentuk demonstrasi budaya dalam Wastra Adat Keraton Dalam Tradisi Pernikahan. Yaitu, peragaan busana budaya ijab kabul kastil yang tergabung dalam Paguyuban Catur Sagotra Nusantara. Pameran ini sekaligus memanggul wastra budaya kastil sebagai bagian dari kekayaan budaya bangsa yang agung angka dan maknanya.
Paguyuban ini dulunya bernama Catur Sagotra. Catur yang bermakna catur dan Sagotra yang bermakna bersatu kata, sepakat, merupakan wadah persahabatan persaudaraan dan komunikasi catur kastil di Jawa kemasukan Dinasti Mataram Islam. Mereka adalah: Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Keraton Kasunanan Ngayogjakarta Hadiningrat, Pura Mangkunegaran Surakarta Hadiningrat, dan Pura Pakualam Ngayogjakarta Hadiningrat. Dalam perkembangannya, keraton-keraton dari asing Jawa mendompleng bergabung dalam Paguyuban Catur Sagotra Nusantara. Antara lain: Kasultanan Kasepuhan Cirebon, Puri Agung Karangasem Bali, dan Kasultanan Samalanga Aceh Darussalam.
“Sebentar lagi jumlah ahli Catur Sagotra Nusantara bakal bertambah, dengan masuknya trah Kasultanan Ternate. Ini memadai menggembirakan,” papar Nani Soedarsono, arsitek Paguyuban Catur Sagotra Nusantara (PCSN), yang kena kalenggahan dengan gelar KRAy Adipati Sedhahmirah dari Paku Buwono XII.
Catur Sagotra berawal dari acara tahunan kastil berupa demonstrasi dan forum keelokan pada perayaan Sekaten, yang menjadi cikal bakal Festival Keraton pada era Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi (Menparpostel) Joop Ave. Namun setelah bukan lembaga, Catur Sagotra ini tak lagi terdengar gaungnya dan lebih tersisih. Catur Sagotra di akta notariskan pada 28 April 2012, dan dikukuhkan pada 12 Mei 2013 dengan asma Paguyuban Citra Sagotra Nusantara.
Nah, dalam rangka memperingati HUT ke-3, Paguyuban Catur Sagotra Nusantara lagi mempersembahkan sebentuk pergelaran seni, adalah Pagelaran Langen Beksa Adiluhung Keraton Nusantara di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) pada Rabu, 11 Mei 2016.
Sebuah pergelaran kecakapan yang agung, sakral, religius, dan langsung dari sumber pusat kebudayaan, dalam hal ini adalah keraton. Karena merupakan tarian adiluhung/pusaka dari keraton, yang memegang karakter filosofi dan spritual yang beragam bersama latar buntut ajaran yang berakar pada tradisi kastil masing-masing.
“Sudah pasti kudu siap izin dari para raja di sendiri-sendiri keraton,” kata KRAy.T. Sritapi Suryoadiputro, Ketua Periodik Paguyuban Catur Sagotra Nusantara (2016-2017).
Lima tarian di tampilkan dalam Langen Beksa Adiluhung Keraton Nusantara. Beksan Srimpi Pandhelori, Lelangen Beksan Pitutur Jati, Legong Keraton, Bedhaya Duradasih bersama Bedhaya Diradameta mampu ditampilkan dengan bersih akibat para penari pilihan.
“Tari sebagai cara mengisi dan memperkaya kehidupan, itu penting. Tari dapat mengembalikan masyarakat kian humanis, penyeimbang kehidupan,” ujar Nani Soedarsono.
Suguhan pertama dari Keraton Kasunanan Ngayogjakarta Hadiningrat adalah tari Beksan Srimpi Pandhelori.
Tarian Srimpi Pandhelori ditampilkan akibat catur penandak putri, menyimbolkan ke-empat unsur: api, udara, air dan tanah. Foto: arum sato
Beksan Srimpi Pandhelori buatan Kanjeng Sultan Hamengkubuwana VIII (1921-1939), merupakan tarian sakral, atas sekadar digelar di dalam lingkungan kastil dengan waktu tertentu. Juga, dalam pelaksanaannya, tarian ini memerlukan berbagai perjanjian yang unik, buat mencapai hierarki pelayanan etika dan estetika yang tinggi. Bahkan dulu, menjelang pementasan, penarinya pula kudu melakukan ritual spiritual dengan puasa, bebersih diri jebrol batin atas bakal mengemban tugas suci. Dalam jalan zaman, Tari Srimpi ini diperbolehkan dipentaskan di asing pembatas kastil dengan durasi yang kian singkat tetapi tak merubah esensi dan makna dari tarian tersebut.
Beksan Srimpi Pandhelori diambil dari epos Carios Menak yang menceritakan cerita dari Persia alias Arab. Menceritakan tentang perang menimbal antara Dewi Kadarwati dari Negara Koparman melawan Dyah Ayu Ngumyun Madikin, seorang putri dari Negara Ngambarkustup. Keduanya saling melambatkan dan sakti (sami kaprawiranipun, Jawa). Dalam peperangan ini tak siap yang kalah dan tak siap yang menang, tetapi berdua bersatu dan asese mengabdi setia kepada Wong Agung Menak, Tiyang Ageng Jayengrana. Hal ini diceritakan dalam syair vokal (gerongan) pada alunan gendhing yang mengiringi tarian ini.
Suguhan tarian ke-dua yaitu, Lelangen Beksan Pitutur Jati dari Pura Pakualaman Ngayogjakarta Hadiningrat.
Lemah lemah lembut penandak dalam menampilkan Lelangen Beksan Pitutur Jati dalam cara melestarikan budaya bibit buwit khususnya keraton. Foto: arum sato
Lelangen Beksan Pitutur Jati merupakan penggalian kearifan nilai-nilai kultural yang tertuang dalam buram Serat Piwulang Estri bersama Langen Wibawa. Serat Piwulang Estri merupakan buram arahan yang disampaikan akibat Sri Paku Alam I (1813-1829) kepada anak mahkota, adalah BPH Suryaningrat yang akan datang bertahta dengan gelar Sri Paku Alam II (1829-1858).
Pitutur alias piwulang di dalam Serat Piwulang Estri merupakan ajaran alias arahan sifat dan sikap adiluhung dan ideal belah perempuan. Ajaran dan arahan ini tak sekadar berlaku belah perempuan, tetapi penting belah masyarakat pada umumnya cukup sekarang. Karenanya, tarian ini ditampilkan akibat awewe dan laki-laki. Empat penandak awewe berkonsep srimpi yang terinspirasi dari Langen Wibawa, yang berawal dari masa Sri Paku Alam IV (1864-1878) dan Sri Paku Alam V (1978-1900).
Konsep srimpi yang sarat simbol dan pengendalian diri dipadupadankan dan luluh dengan kegagahan beksan tiga laki-laki. Alunan sekar mijil yang mengiringi diharapkan pula dapat mempresentasikan pitutur adiluhung yang dapat dijadikan arahan dalam menjalani kehidupan.
Tarian Legong Keraton Asmarandana dari Puri Karangasem Bali menjadi hidangan ke-tiga.
Tiga putri penandak Legong Keraton Asmarandana, dengan pakaian distingtif kastil Bali. Ketiganya merupakan sepupu, famili dari Anak Agung Anglurah Djelantik, Raja Karangasem terakhir. Kanan-kiri: Ayu Kusuma Arini (penari legong), Ayu Bulantrisna Djelantik (penari Condong), dan Ayu Manik Ambharwati (penari Legong). Foto: arum hewan (repro booklet acara)
Legong, alias disebut dengan istilah Legong Keraton, adalah alpa ahad Legong klasik yang berbuah diselamatkan dan dipelihara akibat para Empu dansa Bali. Istilah kastil diawali ketika Raja Karangasem Bali berkunjung beberapa kali mendatangi Keraton Mangkunegaran di Solo pada abad waktu 1920-1937. Dalam setiap kunjungannya Raja selalu membawa bersama tarian Legong.
Legong Keraton Asmarandana, tarian ini distingtif dengan busana keemasan dengan duet rangkaian bunga pada mahkotanya (kepala penari), yang begetar pada setiap aksi atasan dan bahu. Bagian yang sangat bermakna adalah Kipas dna Lamak. Lamak berbentuk bujur sangkar berjarak yang menjuntai di dada dada ke bawah. Lamak lagi berarti asas hidangan dalam peralatan Bali. Selain bersifat dekoratif, Lamak pada Legong, walaupun non-sakral, tetap merupakan jamuan alias pengungkapan rasa syukur atas anugrahNYA.
Penari di dada alang membawakan fungsi sebagai penandak Condong, dan di akhir fungsi berubah menjadi Dewa Shiwa yang murka. Foto: arum sato
Walau tarian ini dibawakan akibat perempuan, setelah masuk bagian dramatiknya, setiap penandak bisa berubah peran. Setelah bagian inaugurasi akibat penandak yang biasa disebut dansa Condong, alkisah duet penandak Legong berubah fungsi menjadi Dewa Asmara (Kama) dan istrinya, Dewi Ratih. Dalam tariannya, Dewa Asmara dan Dewi Ratih menggambarkan drama cinta, tugas dan kesedihan yang dialami sandingan tersebut. Dewa Asmara kena tugas berbahaya, adalah menjagakan Dewa Shiwa yang alang bertapa. Mengetahui hal tersebut, Dewi Ratih embuh bunuh diri tetapi berbuah dihalangi akibat Dewa Asmara. Pada akhir kisah, mengatur berdua terbakar cahaya kemurkaan Dewa Shiwa yang merasa terusik dari pertapaannya.
Dewa Shiwa bersedih ketika menyadari segala apa yang terjadi. Tak siap yang dapat dilakukannya. Lalu, Dewa Shiwa menyebarkan abu mengatur ke hati menusia sehingga afeksi asmara mengatur tetap berjiwa selamanya di dalam hati manusia.
Dewa Shiwa murka dan berkecamuk kepada Dewa Asmara dan Dewi Ratih balasan telah berani mengganggu pertapaannya. Foto: arum sato
Suguhan ke-empat adalah Bedhaya Durasih dari Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Tari Bedhaya adalah genre dansa putri yang berkembang di kastil di Pulau Jawa, khususnya Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Keraton Kasunanan Ngayogjakarta Hadiningrat. Sebelum era XX, dansa Bedhaya mutlak eigendom keraton, dansa peninggalan kastil yang sekadar dipentaskan di lingkungan keraton.
Tari Bedhaya Duradasih merupakan buatan maha besar dari Pangeran Arya Adipati Amangkuregara. Ketika bertahta beliau membawa gelar Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan (SISKS) Paku Buwono IV. Terinspirasidari cerita afeksi Pangeran Arya Adipati Amangkuregara yang ditolak akibat Raden Ageng Handaya, puteri Adipati Cakraningrat dari Pulau Madura.
Kelembutan dan lemah lembut para penandak dalam menatangkan Tari Bedhaya Duradasih, dansa peninggalan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang dipertunjukkan di Gedung Kesenian Jakarta, 11 Mei 2016. Foto: arum sato
Dengan cita gandrung (rindu dendam, benguk asmara), gundah terciptalah dansa Bedhaya Duradasih akibat Sang Pangeran Arya Adipati Amangkuregara. Duradasih berawal dari duet kata, dura dan asih. Dura merupakan kependekan dari Madura, Asih yang artinya cinta. Duradasih dalam bahasa Jawa bisa berarti ”impian yang menjadi kenyataan.”
Puteri Madura Raden Ajeng Handaya yang awal meragukan afeksi Pangeran, alhasil jatuh hati. Bedhaya Duradasih menjadi saksi perjodohan Pangeran Arya Adipati Amangkuregara dengan puteri Madura. Setelah menikah, si raden di kenal dengan asma Sinuhun Paku Buwono IV, pewaris tahta dinasti Surakarta. Sedangkan istrinya, Raden Ayu Handaya bergelar BRAy. Adipati Anom.
Kelembutan dan lemah lembut para penandak dalam menatangkan Tari Bedhaya Duradasih, dansa peninggalan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang dipertunjukkan di Gedung Kesenian Jakarta, 11 Mei 2016. foto: arum sato
Selain dalam tian angka sejarah, dansa bedhaya lagi memegang angka spiritual dan ajaran aktivitas yang tinggi. Itu sebabnya dansa bedhaya mempunyai atribut istimewa. Pada setiap penampilan dansa bedhaya, diiringi instrumen nada khusus yang disebut kemanak, harmonis wadira/alat nada berbentuk buah pisang, dengan bolongan getaran yang memanjang. Kemanak terbuat dari dari besi perunggu.
Ciri awam dansa Bedhaya Duradasih adalah selalu dipentaskan akibat 9 orang penandak putri, dengan bobot gerak dan halus cenderung lembut. Masing-masing penandak mempunyai nama-nama eksklusif dalam komposisinya yaitu: endhel ajeg, batak gulu, dhadha, apit ngarep, apit mburi, apit, meneng, endhel weton bersama buncit raja. 9 penandak tersebut merupakan simbol formasi arah ain angin, dan lagi 9 alat vital tubuh manusia. Semua itu menjadi simbol persatuan dan harmoni dari jagad gedhe dan jagat alit.
Versi beda menyebut bahwa jumlah penandak merupakan atribut dari 9 Wali alias Wali Songo. Menurut agama masyarakat setempat, setiap dansa bedhaya dipertunjukkan alkisah dipercaya Kanjeng Ratu Laut Kidul, Penguasa Pantai Selatan bakal datang dalam peralatan dan ikut berdansa sebagai penandak ke-10.
Pertunjukan hidangan ke-lima adalah Bedhaya Diradameta, dari Pura Mangkunegaran Surakarta Hadiningrat.
Penampilan 7 penandak pria dalam menatangkan Tarian Bedhaya Diradameta di Gedung Kesenian Jakarta, 11 Mei 2016. Foto: arum sato
Bedhaya Diradameta merupakan alpa ahad monumen perjuangan Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa) yang berada Hutan Sitakepyak, sebelah kidul Rembang, Jawa Tengah. Nama Diradameta melahirkan sepak depak Pangeran Sambernyawa beserta prajuritnya dalam menghadapi serangan dan kepungan Belanda. Di ibaratkan bagai bidak mengamuk. Dalam bahasa Jawa, dirada berarti gajah, meta berarti mengamuk.
Tari ini tak lagi disajikan selama sekeliling 250 tahun. Upaya rekonstruksi dilakukan pada 2006 selama sekeliling setahun. Dan bisa dipentaskan lagi pada 17 Maret 2007, bertepatan dengan peringatan Hadeging Praja Mangkunegaran yang ke-250 tarikh di Pendhapa Agung Mangkunegaran.
Tari Bedhaya Diradameta disajikan akibat 7 orang penandak anak dengan melakukan gerak dansa alus energi Mangkunegaran. Tarian ini dilengkapi dengan tombak dan gendhewa (panah), dengan kostum penarinya dengan desain dodot ageng.
Penampilan 7 penandak pria dalam menatangkan Tarian Bedhaya Diradameta di Gedung Kesenian Jakarta, 11 Mei 2016. Foto: arum sato
Handarbeni Budoyo, Merawat dan Mencintai Budaya Leluhur
Pagelaran kecakapan dansa Langen Beksa Adiluhing Kraton Nusantara merupakan alpa ahad cara yang dilakukan keluarga kastil buat menumbuhkan rasa afeksi dan memegang (handarbeni) akan potensi budaya leluhur. Juga sebagai ajang persahabatan persaudaraan yang barangkali dapat mempererat jalinan kekerabatan dalam cara memadukan trah kekerabatan (ngumpulake jengger pisah).
“Keraton sebagai pusat kebudayaan, nyata-nyata menjadi sebentuk bangun sumber kekayaan budaya yang merupakan Saka Guru dari fiil bangsa, menjadi sebentuk jatidiri kewarganegaraan nasional nasionalisme dalam sebentuk negara,” kata Raden Mas Danang Purbaningrat, Ketua Penyelenggara Pagelaran Langen Beksa Adiluhing Keraton Nusantara.
Sejarah budaya lagi dapat kita jadikan sebagai kaca muka buat mengambil angka dan kebestarian positifnya bersama alat buat belajar. Jangan cukup angkatan berikutnya kehilangan anutan (kepaten obor) dari warisan budaya leluhurnya sendiri. [Arum Sato]
Jakarta, 22 Mei 2016
Sekian pembahasan perihal Lima Tarian Klasik Keraton dalam Langen Beksa Adiluhung Keraton Nusantara semoga tulisan ini bermanfaat terima kasih
tulisan ini diposting pada label , tanggal 17-09-2019, di kutip dari https://www.kompasiana.com/setyaningrum/57417c03707e61b708d8e9ae/lima-tarian-klasik-keraton-dalam-langen-beksa-adiluhung-keraton-nusantara?page=all