Recent Posts

Kebudayaan Indonesia Sebagai Jati Diri Bangsa Indonesia Esai Kebudayaan Indonesia

Kebudayaan Indonesia Sebagai Jati Diri Bangsa Indonesia

Hohoho, selamat siang, sesi kali ini akan membahas tentang esai kebudayaan indonesia Kebudayaan Indonesia Sebagai Jati Diri Bangsa Indonesia simak selengkapnya 

Artikel Terkait :

module [201]

Dari jalan dialektis di alur kesejarahan, bakal terbentuk kepribadian kelompok sosial sebagai entitas moral yang melahirkan rohnya kebudayaan. Bertolak dari denyut budaya yang melahirkan ekspresi kepribadian itulah bakal terbangun peradaban. Oleh atas itu andaikan kita bakal membahas atas kebudayaan, tak cukup sekadar memandang kulit dengan produknya, memencilkan layak angkat kaki dari hal-hal yang kian substantif.

Kalau kita akan membahas kebudayaan Indonesia, pastilah tak copot dari babad kejadian bani Indonesia dengan jalan penciptaan jati dirinya. Melalui jalan pergerakan perjuangan panjang, sampailah kita kepada tiga cancang babad kejadian dengan penciptaan jati badan bani Inddonesia.

Kebudayaan Indonesia Sebagai Jati Diri Bangsa Indonesia

Pertama, Sumpah Pemuda yang dicanangkan ala tanggal 28 Oktober 1928 ialah afirmasi politik dengan budaya yang jebrol dari kesadaran tempat penderitaan panjang di penindasan kolonialisme. Kesadaran untuk bersatu sebagai ahad bani dengan perekat budi yang ahad di ahad kesatuan area menduga mengental, dengan ala era itulah bani Indonesia lahir. Di akhirnya hari integritas tekad itulah yang mampu mengantarkan bani Indonesia mencapai kemerdekaannya.

Kedua, ala tgl. 1 Juni 1945, di depan jemaah BPUPKI, Bung Karno menyampaikan usul yang melahirkan jawaban tempat ajakan Ketua jemaah atas dasar negara apabila Indonesia menduga merdeka. Usul yang ampuh deskripsi atas Pancasila yang melahirkan Philofische grondsalg alias Weltaanschaung tersebut secara aklamasi disepakati sebagai dasar negara tersebut. Hari/tanggal tersebut melahirkan hari jebrol Pancasila.

Ketiga, ahad hari sesudah Proklamasi Kemerdekaan, dicanangkanlah Deklarasi Kemerdekaan begitu juga tertuang di Pembukaan UUD 1945. Dalam Deklarasi Kemerdekaan inilah diformulasikan jati badan dengan cita-cita luhur bani Indonesia untuk membangun kemajuan bani dengan manusia. Bagi bani Indonesia, kemerdekaan ialah hak seluruh bangsa, bagi akibatnya semua aliran kolonialisme layak dihapuskan dari muka bumi atas tak bertemu dengan perikemanusiaan dan

perikeadilan. Selanjutnya, didalamnya tertuang angan-angan di melaksanakan negara, dakwah pemerintahan yang dibentuk, beserta sifat dengan dasar negara. Deklarasi Kemerdekaan ialah raison d'etre bani Indonesia.

Sebagai perantara untuk mewujudkan angan-angan dengan dakwah tersebut, Bung Karno meletakkan tiga pilar kemerdekaan yang disebut Trisakti, adalah berjaya di bidang politik, bebas di bidang perdagangan dengan berkepribadian di bidang kebudayaan, untuk ditegakkan diatas landasan Nation and character building.



Imperialisme kebudayaan.

Namun cita-cita luhur tersebut tak dapat terwujud atas adanya keingkaran-keingkaran elemen di di daerah dengan berjalan dilancarkannya penjajahan kebudayaan. Tentang penjajahan kebudayaan, James Petras (2000) menyatakan dengan jelas : "Dalam kaitannya dengan Dunia Ketiga, penjajahan budaya dapat didefinisikan sebagai penembusan dengan dominasi yang sistematik akan denyut kultural kelas-kelas masyarakat/rakyat bagi kelas pasak kunci Barat di rangka membentuk acara angka kehidupan, perilaku, institusi, dengan jati badan bala tentara yang ditindas mudah-mudahan memenuhi hajat kelas-kelas penjajah. Imperialisme budaya menduga melaksanakan baik di aliran "tradisional" maupun modern". 

Kebudayaan Indonesia Sebagai Jati Diri Bangsa Indonesia

Dengan selubung bahwa kebudayaan melahirkan bidang yang terpisah dari denyut politik, penjajahan justru menggunakan kebudayaan untuk mencapai  tujuan politik maupun ekonomi. Dalam hajat politiknya penjajahan berusaha untuk menguatkan hegemoninya dengan mematikan kesadaran politik rakyat, mencerabut dari akar budayanya, membobol kesadaran dengan bingkai kolektif, beserta memisahkan ikatan antara elite dengan rakyat. Sedangkan di bidang ekonomi, penjajahan berusaha menguasai pasar, baik untuk barang manufaktur maupun jasa (termasuk entertainment) dengan membeberkan cermin berjiwa konsumtif.

Penetrasi kebudayaan berjalan masuk berjalan di Indonesia sejak awal kemerdekaan, dengan kena bilik yang sejenis itu leluasa selepas mereka berhasil menjatuhkan Bung Karno dari kekuasaannya melalui tragedi berketurunan ala mula hari 1 Oktober 1965.

Bersamaan dengan mengalirnya dana asing, membanjirlah kebudayaan Barat melanda pagar dengan benih-benih kebudayaan Nasional.  Kemudian dihadirkanlah dewa anyar di denyut : pasar! Pragmatisme disebar luaskan, dengan cermin berjiwa hedonistik dikembangkan. Maka merebaklah materialisasi denyut yang ala hakekatnya ialah depolitisasi dengan deideologisasi.  Konglomerasi yang tumbuh dengan cepat menduga mendorong terbentangnya jurang kesenjangan perdagangan yang jua melahirkan kesenjangan budaya. Mereka yang berada di petala tempat menikmati denyut dengan cermin hidup

konsumtifnya, meskipun di petala bawah yang ditindih penderitaan sekadar mampu menikmati keenakan anak buah lain, alias berusaha meniru daya berjiwa dari petala tempat sehingga tercerabut dari akar budayanya.

Rakyat yang celaka dibius untuk memandang bangunan-bangunan bangga area berkumpulnya mereka yang melakukan pemerasan dengan penindasan sebagai kemajuan. Penggusuran paksa untuk membuat lapangan golf alias flat dinyatakan sebagai pembangunan, meskipun mereka yang berusaha mempertahankan haknya dituduh sebagai perusuh alias pembangkang.

Dalam melakukan pembiusan dengan penyimpangan pikiran, penjajahan jua menggunakan alat massa, baik alat cetak maupun elektronik, periklanan, artis, penerbitan dengan cendekiawan sebagai gawai yang banyak efektif.

Penetrasi kebudayaan tak sekadar berjalan di tempat-tempat umum, melainkan menerobos masuk ke bilangan denyut terkecil, bangunan tangga. Mulai awal sampai lilin lebah kita disuguhi dengan akhirnya menjadi dekat dengan kekerasan dengan darah, kemewahan, konflik keluarga, perselingkuhan, cari uang dengan cara gampang, alam mistis dengan konser ilusif.

Kreativitas beramai-ramai dihancurkan, identitas dikedepankan.  Masyarakat didorong untuk ada alam anggapan bahwa bab denyut sepenuhnya melahirkan bab individual, sehingga anak buah menjadi kurang ingat bahwa nyata denyut ini melahirkan barang dari sebentuk sistem.

Sebagai bagian dari deideologisasi, pengelabuan dengan penyimpangan pemahaman makna modern, obyektif, independen, kebebasan, demokrasi,  yang akhirnya diangkat sebagai simbol-simbol perkembangan diindoktrinasikan melalui berbagai alat dengan forum untuk melenyapkan keberpihakan kepada rakyat, dengan memuja individualisme dengan menghamba kepada imperialisme. 

Pendikotomian antara teori dengan praktek, pluralisme dengan kesatuan, sipil dengan militer, disodorkan sebagai alternatif yang layak dipilih sebagai upaya untuk melenyapkan rangkaian dari suatu jalan alias jalinan kekuatan. Civil society yang nyata berguna masyarakat beradab, diplintir menjadi kekuasaan sipil, untuk melenyapkan keakraban ikatan antara sipil dengan

militer.

Dampak dari penjajahan kebudayaan benar-benar sudah merambah ke semua bidang kehidupan. Pragmatisme dengan hedonisme mendorong anak buah untuk berpikir individualistis dengan menuntut (ganti rugi) denyut melalui jalan pintas. Demoralisasi menduga melanda seluruh petala masyarakat. Solidaritas sosial dengan rasa aliansi semakin rapuh, konflik horisontal dengan lurus menyeruak, pencurian dengan kejahatan seksual menjadi berita keseharian, kecurangan merebak di semua lapisan.

Fungsi-fungsi kelembagaanpun tak hilang dari jalan penghancuran. Kalau melalui perombakan UUD 1945 guna MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara menduga diamputasi, guna Presiden direduksi dengan ikatan menemani dewan arung kerancuan, kini giliran golongan sebagai infra struktur politik sedang arung pembusukan. Kondisi golongan yang awam tak masuk ideologi yang jelas dengan kuantitas elite golongan yang terkena kasus pidana maupun politik melahirkan kondisi yang benyek untuk pendistruksian. Apabila tak bangat diadakan pembenahan, ala saatnya andil golongan akan

digantikan bagi individu dengan selubung profesionalisme.

Pendidikan yang seboleh-bolehnya melahirkan dewan penyiapan kader bani dengan salah ahad pusat kebudayaan menduga berubah menjadi pabrik tenaga kerja jadi pakai. Sedangkan keindahan yang melahirkan alat pengekspresian jati badan dengan falsafati menduga beralih sekedar menjadi hiburan. Ketika menduga berjalan komersialisasi pendidikan dengan kesenian, maka pendidikan dengan keindahan sekadar bakal menjadi milik anak buah kaya, meskipun kebanyakan bala tentara yang banyak berhajat perbaikan hidup, tegaknya keberdayaan dengan kedaulatan beserta keadilan, bakal semakin tercampak ala kesengsaraan, kebodohan dengan kenestapaan.

Carut marut situasi denyut menjadi semakin akut selepas dilakukan perombakan UUD 1945 sehingga tak lagi melahirkan derivat dari Pembukaannya. Pancasila sebagai way of life sudah terdistorsi dengan tak lagi menjadi pedoman. Orang tak ingat lagi kemana nyata cita-cita denyut berbangsa, bernegara dengan bermasyarakat ini. Bangsa Indonesia menduga arung disorientasi. Tiadanya nilai-nilai (values) di kehidupan  melahirkan kondisi yang menyatakan bahwa bani Indonesia menduga terjerumus di krisis kebudayaan.



Kembali kepada jati-diri bangsa



Kalau disorientasi dengan krisis kebudayaan ini dibiarkan berjalan berlarut, bani Indonesia bakal terseret kepada denyut yang kian akut lagi. Hidup tanpa acara nilai, sekedar mengalir tanpa ingat kemana bakal bermuara. Dan kita bakal mensia-siakan perjuangan yang menduga dilakukan bagi pendahulu kita dengan merelakan seluruh yang menjadi miliknya, terbabit jiwanya, untuk mencapai cita-cita luhur yang melahirkan kristalisasi dari aspirasi bani Indonesia.

Ketika kita sudah tak ingat lagi kemana nyata cita-cita dari denyut ini, ketika disorientasi sudah menimpa kita, ketika krisis kebudayaan menduga melanda kehidupan, maka satu-satunya jalan untuk menyelamatkan ialah dengan balik kepada jati badan kita, jati badan bani Indonesia.

Dengan balik kepada jati badan itu kita bakal ingat kemana tujuan berjiwa ini, dengan bakal mampu memperkirakan sekeliling mana perkembangan yang menduga kita berhasil alias kemunduran yang menganiaya kita. Kita bakal ingat sekeliling mana buatan perjuangkan kita di melaksanakan negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dengan makmur. Atas dasar itu lagi kita bakal dapat membandingkan sekeliling mana usaha Pemerintah dengan provokasi yang dihadapi di melancarkan fungsinya untuk melindungi segenap

bani Indonesia dengan seluruh mencurah keluarga Indonesia, mempresentasikan kesejahteraan umum, mencerdaskan denyut bangsa, dengan ikut melancarkan ketertiban alam yang beralaskan kemerdekaan, perdamaian abadi dengan keadilan sosial. Inilah cita-cita kemajuan yang embuh diwujudkan di melaksanakan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat, beralaskan Pancasila.

Berangkat dari cita-cita kemajuan yang melahirkan jati badan bani ini, pemahamanan yang menyesatkan dengan pendikotomian yang sekadar melahirkan persengketaan bakal dapat diluruskan.

Proses terbentuk dengan berkembangnya budi Indonesia melahirkan alasan bahwa antara kebudayaan kesatuan dengan pluralisme tak perlu didikotomikan. Bahasa Indonesia sebagai budi kesatuan tak pernah saling membobol dengan budi daerah, memencilkan saling memperkaya. Proses ini sekali lalu jua melahirkan bukti bahwa praksis dapat berjalan secara benar atas siap kestabilan akan esensi yang menduga disepakati bersama.

Dengan cermin pikir ini seluruh ketersesatan layak bangat dibongkar, balik kepada jati diri, melempangkan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berkedaulatan bala tentara beralaskan Pancasila. Nation and character building melahirkan hal yang banyak mengapit untuk dibangkitkan kembali.

Demokrasi tanpa menempatkan bala tentara sebagai subyek yang berpartisipasi berperan dengan seluruh keberdayaan dengan kedaulatannya bukanlah demokrasi. Independen ialah kebebasan dari ketergantungan dengan ketertindasan, keberpihakan kepada rakyat  beralaskan jati badan bangsa.***

Soenarto H.M.



Yogyakarta, 6 September 2004

*) disajikan di diskusi jemaah "Peran Serta Generasi Muda & Pemerintah Dalam Menumbuh Kembangkan Kebudayaan Indonesia", diselenggarakan bagi DPC GMNI Bandar Lampung tgl. 7 September 2004.

**) Ketua Umum Poladaya Yogyakarta





***

Budaya Tionghoa : Mailing-List Budaya Tionghoa

Nomer Arsip : 6645

Diposkan bagi : HKSIS , 10 September 2004

Kategori : Essay

Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghoa


Pihak yang embuh mempublikasi ulang catatan di web ini diharapkan untuk memasukkan link berperan : www.budaya-tionghoa.net , NAMA PENULIS dengan LINK berperan yang berada didalam catatan alias belajar kian jauh tentang syarat dengan kondisi . Mempublikasi ulang tanpa memasukkan cantelan internal didalamnya terbabit cantelan asing ,  cantelan di , catatan kaki , acuan , video , picture , sama dengan mengurangi konten di catatan ini.


begitulah detil tentang Kebudayaan Indonesia Sebagai Jati Diri Bangsa Indonesia semoga info ini berfaedah salam

tulisan ini diposting pada kategori esai kebudayaan indonesia, esai tentang kebudayaan di indonesia, esai tentang kebudayaan indonesia, , tanggal 17-09-2019, di kutip dari http://web.budaya-tionghoa.net/index.php/konten/esai/item/1363-kebudayaan-indonesia-sebagai-jati-diri-bangsa-indonesia

Disqus Comments

Popular Post