Allow, selamat sore, pada kali ini akan membahas tentang puisi kebudayaan indonesia hebat Gus Mus: Tuhan, Islamkah Aku? Halaman all - Kompas.com simak selengkapnya
KOMPAS.com — "Islam agamaku, nomor ahad di dunia. Islam benderaku, berkibar di mana-mana. Islam area ibadahku, mewah bagaikan istana. Islam area sekolahku, tak bertekuk lutut dengan lainnya. Islam sorbanku. Islam sajadahku. Islam kitabku. Tuhan, Islam kah aku?"
Penggalan baris di tempat melahirkan bagian dari kakawin berjudul "Puisi Islam" yang dibacakan Mustofa Bisri dalam acara perayaan 26 Tahun Museum Rekor-Dunia Indonesia (Muri) di Gedung Kesenian Jakarta, Kamis (28/1/2016).
Ia tampil membacakan beberapa puisinya dengan diiringi permainan piano oleh Jaya Suprana, si arsitek Muri.
Sebelum mulai, Jaya Suprana sempat memanifestasikan alasan mengapa beliau memastikan Gus Mus buat diajak berkolaborasi.
Baginya, Mustofa Bisri adalah sosok buya yang tak biasa. Ketertarikannya dengan buya yang bersahabat disapa Gus Mus itu karena sifatnya yang jauh dari menanggung haus dominasi dan jabatan.
"Sekarang kita semua cenderung sibuk memperebutkan dominasi dan jabatan, tetapi buya ahad ini malah merusak pasaran. Ia mempermalukan orang asing dengan menolak jabatan. Makanya, saya undang melafalkan puisi," ujarnya sambil bergurau.
Menurut Jaya Suprana, penampilannya bersama Gus Mus melahirkan sebuah simbol perwujudan dari peleburan budaya.
Di tengah hawa intoleransi yang sedang meliputi bangsa Indonesia, dia ingin memasrahkan amanat bahwa (hawa) nafsu kepelbagaian seboleh-bolehnya menjadi landasan hidup bermasyarakat.
"Kita ini sangat hebat dalam menyerap kebudayaan dalam menjadi kebudayaan Indonesia. Kita lihat bagaimana ajaran Islam, Kristen, Buddha, Hindu, berkembang dalam aliran Indonesia. Ini adalah sebuah amanat bahwa kita kudu menjaga keberagaman. Menjaga kepelbagaian itu harga mati," kata Jaya Suprana.
Semangat dan interpretasi agama
Sementara itu, saat ditemui berhenti acara, Gus Mus memasrahkan tanggapannya tercantol fenomena radikalisme dan ekstremisme yang akhirnya balik muncul di tengah masyarakat.
Menurut pandangannya, keinginan seseorang buat bergabung dengan blok pelampau tak hanya disebabkan oleh aspek ekonomi.
Ia malah membesuk aspek terbanyak yang menjadi lantaran adalah kurangnya interpretasi terhadap agama.
"Sering kali (hawa) nafsu berakidah tak diimbangi dengan interpretasi ajaran yang baik. Semangat dengan interpretasi berakidah itu kudu seimbang. Pemerintah kudu menyadari, itu melahirkan ancaman yang serius, dan bangsa kudu balik ala jati dirinya sebagai orang yang berketuhanan, berkemanusiaan yang adil dan beradab," tutur Gus Mus.
Gus Mus juga memasrahkan kritiknya terhadap pemerintah yang tak imajinatif dalam membenahi akar radikalisme. Perubahan peraturan, sebesar barang apa pun, tak bakal menyelesaikan persoalan.
"Dulu zaman Orde Lama, garis haluan dijadikan panglima. Zaman Soeharto diubah menjadi ekonomi. Sekarang, garis haluan balik dijadikan panglima. Tidak kreatif. Mbok ya dicoba adakalanya budaya dijadikan panglima. Kita terlalu fokus dengan ekonomi dan politik," pungkasnya.
oke detil tentang Gus Mus: Tuhan, Islamkah Aku? Halaman all - Kompas.com semoga tulisan ini bermanfaat salam
tulisan ini diposting pada label , tanggal 18-09-2019, di kutip dari https://nasional.kompas.com/read/2016/01/29/05000091/Gus.Mus.Tuhan.Islamkah.Aku.?page=all