Hohoho, selamat siang, pada kali ini akan dibahas tentang kebudayaan fisik indonesia Homo e. soloensis - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas simak selengkapnya
Homo e. soloensis, Homo erectus soloensis, atau Homo soloensis (sering kembali disebut Manusia dari Solo atau Solo Man) merupakan hominid atau manusia purba yang diperkirakan bernapas di daerah Sungai Bengawan Solo purba atas Zaman Batu Tua atau Paleolitikum.
Subspesies yang menebak habis ini sempat diklasifikasikan sebagai Homo sapiens soloensis, tetapi kini dimasukkan ke di spesies Homo erectus. Oleh secuil ahli, Homo soloensis dianggap segolongan dengan Homo neanderthalensis yang melahirkan bani Adam arkais dari Asia, Eropa, dengan Afrika.
Penemuan Fosil[sunting | sunting sumber]
Fosil-fosil Homo erectus soloensis ditemukan di Ngandong (Blora), Sangiran, dengan Kecamatan Sambungmacan (Sragen), Pulau Jawa, Indonesia, bagi Ter Haar, Oppenoorth, dengan Gustav Heinrich Ralph von Koenigswald antara tarikh 1931 berbatas 1933 di petala Pleistosen Atas atau Pleistosen Akhir.[2]
Di daerah tersebut, von Koenigswald berlimpah menemukan fosil-fosil dengan artefak-artefak prasejarah, antara lain tengkorak anak-anak, hewan menyusui, dengan aneka perkakas. Ia akhirnya membagi lembah Kali Solo menjadi tiga lapisan:[3]
- Lapisan Jetis (Pleistosen Bawah), ruang ditemukannya Pithecanthropus robustus, Homo mojokertensis, Meganthropus paleojavanicus
- Lapisan Trinil (Pleistosen Tengah), ruang ditemukannya Pithecanthropus erectus
- Lapisan Ngandong (Pleistosen Atas), ruang ditemukannya Homo soloensis, Homo wajakensis
Untuk Homo e. soloensis, von Koenigswald menemukan 11 fosil tengkorak. Sebagian menebak hancur, tetapi ada beberapa yang masih adekuat menjadi objek eksplorasi lebih lanjut, biarpun tulang rahang dengan gigi kesebelas tengkorak itu sudah tak ada.
Menurut von Koenigswald dengan R. Weidenreich, bani Adam arkais ini lebih adiluhung tingkatannya dibanding Pithecanthropus erectus. Bahkan, membayangkan menebak adekuat disebut sebagai homo (manusia). Diperkirakan, anasir ini melahirkan evolusi dari Pithecanthropus mojokertensis atau Homo mojokertensis.
Karena alat-alat yang ditemukan di ambang tulang hominid ini dengan kuantitas fitur anatomi yang lebih rentan, para bernas perdana kali mengklasifikasikannya sebagai subspesies Homo sapiens (pernah jua disebut Javanthropus) dengan dianggap sebagai aki moyang anak Adam Aborigin di Australia. Namun, bersekolah yang lebih akurat menalikan bahwa hal tersebut tidaklah terbukti.[4]
Analisis akan belasan tengkorak dari Sangiran, Trinil, Sambungmacan, dengan Ngandong menunjukkan pembangunan bersambungan dari Periode Bapang ke Periode Ngandong.[5] Pada 2011, para bernas memperkirakan H. e. soloensis sudah berusia antara 143.000 batas 550.000 tahun.[6]
Ciri-ciri Fisik[sunting | sunting sumber]
Meskipun morfologinya secuil besar distingtif dari Homo erectus, budaya Homo e. soloensis sudah sangat maju. Hal ini menimbulkan berlimpah masalah untuk aturan terkini melanda dependensi perilaku Homo erectus di hal inovasi dengan bahasa.[7]
Homo erectus soloensis berdiri tegak dengan berjalan lebih sempurna. Diperkirakan, membayangkan memiliki adiluhung badan antara 130 batas 210 cm. Otot tengkuk mengalami penyusutan. Wajah tak menonjol ke depan, tetapi dahinya miring ke belakang. Tengkoraknya menunjukkan benjolan yang lebih kasar di ambang alis.[8] Kapasitas otaknya berkisar antara 1.013 berbatas 1.251 cm³, memangkalkan Homo erectus soloensis di antara anak buah golongan Homo berotak lebih besar.[9]
Kebudayaan dengan Peradaban[sunting | sunting sumber]
Dengan volume otak yang sudah mendekati manusia, Homo erectus soloensis bersama dengan Homo wajakensis, diperkirakan mengawali sistem budaya yang akhirnya kita kenal dengan Kebudayaan Ngandong. Kebudayaan ini dicirikan dengan penggunaan tulang binatang, duri iwak pari, dengan batu-batuan serpih (flakes).[10] Bahan-bahan tersebut sudah berhasil tergarap menjadi kapak, belati, tombak, dengan sebagainya.
Sebagian flakes bahkan terbuat dari batu-batuan yang indah, seperti kalsedon, menandakan peradaban Homo e. soloensis menebak mengenal citarasa seni. Alat-alat dari tulang binatang diduga digunakan untuk melubangi ubi dengan keladi dari di tanah. Alat-alat seperti tombak yang berigi-rigi diduga dimanfaatkan layaknya harpun: untuk menangkap iwak besar.[3]
Masalahnya, sarwa perkakas dengan senjata itu ditemukan di permukaan bumi, sehingga sulit memastikan asal lapisannya. Melalui eksplorasi yang mendalam, akibatnya diketahui benda-benda tersebut berawal dari Lapisan Trinil (Pleistosen Tengah). Jadi, siap kementakan pemiliknya malah Pithencanthopus erectus.
Namun demikian, diyakini budaya memakai dengan menciptakan instrumen semacam ini hanya berkembang di suatu bani yang minimal bergenus Homo. Jadi, daya Pithecanthropus erectus diragukan di hal ini. Apalagi makhluk-makhluk kera-manusia dari Lapisan Pleistosen Bawah (semacam Meganthropus paleojavanicus).
Permasalahan berikutnya, di antara sarwa penemuan dari abad pleistosen di Indonesia, belum suah ditemukan alat-alat yang letaknya berapit dengan sisa purba homo. Akibatnya, sulit menalikan sembarang orang empunya faktual dari alat-alat yang dikemukakan di atas.
Petunjuk untuk memecahkan kebuntuan ini ada dari penemuan di Beijing, Tiongkok. Di gua Choukoutien, sejumlah sisa purba Sinanthropus pekinensis (sekelas dengan Pithecanthropus erectus) ditemukan bersama abah-abah bebatuan yang mirip dengan alat-alat di Situs Pacitan meskipun Situs Ngandong. Maka pendapat sejauh ini, andaikan Sinanthropus pekinensis sahaja sudah memiliki budaya memakai dengan menciptakan alat, boleh beres Pithecanthropus erectus pula menebak berbudaya.
Kesimpulan selanjutnya, andaikan anasir seperti Pithecanthropus sahaja beradab dengan mampu menciptakan Kebudayaan Pacitan lengkap dengan alat-alatnya, seharusnya Kebudayaan Ngandong yang dipelopori bani homo, di hal ini Homo erectus soloensis, jauh lebih maju. Apalagi eksplorasi akhirnya menunjukkan bahwa alat-alat tersebut memang berawal dari Pleistosen Atas, buatan kebudayaan Homo soloensis dengan Homo wajakensis.[3]
Dari beraneka macam bahan tersebut, para bernas berkesimpulan bahwa cara bernapas bangsa Homo erectus soloensis detik itu merupakan berburu binatang, menangkap ikan, memanen keladi, ubi, buah-buahan, dengan akumulasi makanan lainnya.[11] Namun, alat-alat tersebut barangkali tak klop untuk bercocok tanam. Sehingga, bernapas bani Adam zaman batu tua itu diperkirakan masih memakai sistem nomaden, belum menetap.
Sistem Kepercayaan[sunting | sunting sumber]
Ada akidah dari secuil bernas bahwa perkembangan budaya bani Adam diluvium berbatas Homo sapiens diimbangi dengan perkembangan pemikiran dengan perasaannya. Termasuk perkembangan kerohaniannya yang membuat membayangkan beriman bahwa siap sesuatu yang lebih besar dari dirinya.[3]
Menurut Karen Armstrong[12], atas mulanya, bani Adam menciptakan eka Tuhan yang melahirkan lantaran perdana belah sekalian sesuatu. Ia merupakan administrator langit dengan bumi. Ia tak terwakili bagi gambaran apapun dengan tak memiliki kuil atau pendeta yang mengabdi kepada-Nya. Ia terlalu luhur untuk ibadah bani Adam yang tidak memadai.
Wilhelm Schmidt, di buku The Origin of the Idea of God (1912-1954), jua menulis akan monoteisme primitif ini. Menurutnya, jauh dini menyembah berlimpah dewa, bani Adam mengakui hanya eka Tuhan Tertinggi yang menebak menciptakan adam dengan menata segalanya dari kejauhan. Schmidt mencontohkan suku pribumi Afrika yang memercayai keesaan Tuhan. Mereka melahirkan kerinduan lewat doa, beriman bahwa Tuhan acap mengawasi dengan menghukum saban dosa. Namun Tuhan tak datang di kehidupan sehari-hari mereka, artinya tak siap kultus khusus untuk-Nya. Tuhan tak suah ditampilkan di gambar-gambar.
Ini terjadi dini Tuhan Tertinggi digantikan bagi tuhan-tuhan pagan dengan simbol-simbol keimanan yang mewujud, misalnya di bentuk punden berundak, menhir, lukisan goa, kuil pemujaan, dengan sebagainya.
Jadi, siap kementakan bangsa Homo erectus soloensis jua mengenal dengan membutuhkan kehadiran Tuhan. Sebab, sudah pasti saban detik membayangkan berhadapan dengan peristiwa-peristiwa alam yang sulit dipahami akibat di luar cais dengan nalarnya, wabah penyakit, binatang buas, fenomena-fenomena gaib, dengan lain sebagainya.[8]
Ide akan kehadiran Tuhan memang menebak dengan tetap bernapas dari abad dengan kebudayaan apapun berbatas kapan pun. Sebagaimana yang diungkap di The New Encyclopedia Britanica, bahwa sejauh penemuan para sarjana, tak suah siap orang, di manapun dengan kapan pun, yang sama sekali tak religius.
Teori Nusa Jawa Pusat Pesebaran Manusia[sunting | sunting sumber]
Alat-alat setipe dengan yang siap di Kebudayaan Ngandong jua ada di daerah-daerah Nusa atau Pulau Jawa. Kapak-kapak yad berbentuk piringan sendiri faktual menunjukkan identitas Australoid, tetapi jua dengan adonan identitas Mongoloid. Sebagian ahli paleoantropologi berpikir bahwa manusia-manusia Mongoloid dari darat Asia, meskipun manusia-manusia Australoid dari darat Australia. Mereka ada dengan bertemu di Jawa.[8]
Namun siap sebuah aturan yang menyatakan bahwa malah Jawalah asal muasal mereka. Dari Jawa, Homo e. soloensis yang bertanda awak Mongoloid kalakian menabur ke Asia lewat Paparan Sunda, meskipun Homo wajakensis yang bertanda Australoid (Papua, Aborigin, dll.) menabur ke Australia lewat Paparan Sahul.
Paparan Sunda atau Dataran Sunda merupakan alas tanah raya sambungan ceper bentala Eurasia di Asia Tenggara. Massa darat utamanya mencakup Semenanjung Malaya, Sumatra, Jawa, Madura, Bali, dengan pulau-pulau alit di sekitarnya.[13] Luas eksplanasi ini 1,85 juta km2.[14]
Sedangkan Paparan Sahul atau Dataran Sahul merupakan cuilan dari ceper alas tanah raya bentala Sahul (Benua Australia-Papua) yang terletak di terlepas pantai lor Australia dengan osean selatan Pulau Papua. Paparan Sahul membentang dari Australia utara, melingkungi Laut Timor menghubungkan ke timur di laut Arafura yang menghubungkan dengan Pulau Papua. Ketika permukaan air samudra anjlok atas zaman es Pleistosen, Paparan Sahul merupakan alun-alun berburai di tempat permukaan laut.
Teori Jawa sebagai ruang asal peradaban arkais bertolak dari fakta bahwa pulau ini berada di wilayah khatulistiwa dengan iklim yang sangat ideal belah kehidupan manusia. Akan terasa canggung bila manusia-manusia itu malah lebih suka tinggal di lokasi yang memiliki empat musim, akibat atas Musim Salju tentulah sangat adem membeku. Terlebih di abad es sekitar duet juta tarikh yang lalu. Maka tak berlebihan bila secuil bernas mengajukan aturan bahwa Paparan Sunda dengan Paparan Sahullah sesungguhnya ruang kelahiran serta penjagaan bernapas Ras Mongoloid dengan Australoid. Terlebih bila mengingat di pulau ini jua datang cikal bakal Homo erectus soloensis, yakni Pithecanthropus erectus, sang missing link yang bagi antropolog dengan zoolog Jerman Ernst Haeckel dianggap peranjakan akmal antara beruk dengan manusia.[8]
Kepunahan Homo erectus soloensis[sunting | sunting sumber]
Tidak siap yang kenal persisnya apa pasal Homo e. soloensis tak lagi bernapas di bumi. Hanya siap keterangan bahwa populasinya musnah di kala pleistosen.[15] Bagaimanapun, sebagai perbandingan, bolehlah kita memakai eksplorasi bertema serupa untuk kasus Neanderthal. Sebab, antara Homo erectus soloensis dengan Homo neanderthalis memiliki interelasi fisik.
Kemampuan Sosial yang Rendah[sunting | sunting sumber]
Sebuah teori menyebutkan, manusia-manusia primitif ini habis akibat minim pandai bersosialisasi. Hal itu, lewat eksplorasi yang panjang, disimpulkan terjadi atas eka spesies bani Adam purba, Neanderthal yang suah bernapas di wilayah Eropa, Asia Tengah, dengan Timur Tengah selama kurang-lebih 300.000 tahun.
Para ahli dari Universitas Oxford dengan Museum Natural History di London membandingkan 32 tengkorak bani Adam futuristik dengan 13 tengkorak Neanderthal. Para akademikus itu melihat bahwa harmoni benak Neanderthal yang bertanggung balas membangun hubungan sosial lebih alit dibanding harmoni benak primata dengan bani Adam detik ini. Riset tersebut menalikan bahwa daya bertukar alias bergalas dari spesies ini sangat terbatas.
Dalam hal normal, dependensi tersebut barangkali bukanlah masalah besar. Namun di situasi sulit, seperti abad es, dependensi semacam itu meminimalkan harapan untuk bekerja sama dengan grup lain, sehingga meminimalkan kembali kesempatan untuk menjadi penyintas.[16]
Penyebaran Penyakit[sunting | sunting sumber]
Ada kembali dugaan bahwa epidemi berperan besar di melanggar Homo erectus soloensis dengan keturunannya. Pasalnya, kasus serupa jua menimpa Neanderthal.[17]
Menurut riset, Neanderthal memiliki kekebalan definit akan penyakit yang belum suah membayangkan idap. Sementara Homo sapiens relatif lebih imun akan kuman, virus, bakteri, atau beragam paleopatologi. Jika relatif mudah belah patogen tertentu untuk berkinja-kinja antar duet spesies, mungkin akibat membayangkan tinggal berdekatan, bahwa penularan sangat mengharuskan terjadi dengan akhirnya buruk belah manusia-manusia Neanderthal. Hal yang serupa pula dapat terjadi akan Homo soloensis.
Badai Meteor[sunting | sunting sumber]
Teori lain memaparkan, kepunahan bani Adam arkais secara umum berkaitan dengan badai meteor yang suah menghantam bumi sekitar 12.000 tarikh lalu. Peristiwa alam ini diduga membinasakan para bani Adam purba, termasuk hewan-hewan raksasa seperti dinosaurus dengan mammoth. Para peneliti benar-benar percaya kemalangan tersebut memicu perubahan guru batas mengaras 2.200 derajat celcius.[18]
Sulit belah makhluk-makhluk di abad itu untuk bertahan, baik detik meteor menerjang meskipun di detik hal alam mengalami kebinasaan dengan perubahan iklim yang berlebihan setelahnya.
Memang, lantaran punahnya Homo erectus soloensis secara pasti masih menjadi teka-teki dengan dialog di daerah ilmuwan. Bisa beres akibat membayangkan dimangsa predator, angkat tangan bersaing dengan bani Adam futuristik (Homo sapiens), epidemi, aspek internal bintang siarah (seperti meteor), minim pandai bersosialisasi, atau sarwa itu sekaligus.
Referensi[sunting | sunting sumber]
- ^ Global Mammal Assessment Team (2008). "Homo erectus". IUCN Red List of Threatened Species. Version 2013.2. International Union for Conservation of Nature. Diakses tanggal 6 April 2014.
- ^ Schwartz, Jeffrey H.; Tattersall, Ian (2005). The Human Fossil Record, Craniodental Morphology of Genus Homo (Africa and Asia). John Wiley & Sons. hlm. 450. ISBN 9780471326441.
- ^ a b c d Soekmono, Dr. R. (1981). Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 1. Penerbit Kanisius, Cetakan Ketiga. hlm. 28-33. ISBN 9789794131749.
- ^ Peter Brown: Recent human evolution in East Asia and Australasia. Philosophical Transactions of the Royal Society of London, Biological Sciences, Vol. 337, 235-242, 1992
- ^ Kaifu, Y; Aziz, F; Indriati, E; Jacob, T; Kurniawan, I; Baba, H (Oct 2008). "Cranial morphology of Javanese Homo erectus: new evidence for continuous evolution, specialization, and terminal extinction". Journal of Human Evolution. 55 (4): 551–80. doi:10.1016/j.jhevol.2008.05.002. ISSN 0047-2484. PMID 18635247.
- ^ Finding showing human ancestor older than previously thought offers new insights into evolution, 5 July 2011.
- ^ Peter Brown: Recent human evolution in East Asia and Australasia. Philosophical Transactions of the Royal Society of London, Biological Sciences, Vol. 337, 235-242, 1992
- ^ a b c d Arif, H. A. Kholiq; Sukatno, Otto (2010). Mata Air Peradaban: Dua Millenium Wonosobo. Penerbit LKiS, Cetakan Pertama. ISBN 9789792553314.
- ^ http://www.columbia.edu/~rlh2/PartII.pdf
- ^ Yugi, Al (2017-08-16). "Kebudayaan Ngandong: Sejarah, Ciri-ciri, Persebaran, Hasil Budaya". Harian Blora. Diakses tanggal 2017-10-13.
- ^ Riyani, Nurkhasanah Eka (2015-04-16). "Situs Ngandong Kabupaten Blora Sebagai Media Pembelajaran Kehidupan Awal Manusia". Harian Blora. Diakses tanggal 2017-10-13.
- ^ Armstrong, Karen (2011). Sejarah Tuhan. Penerbit Mizan Bandung. hlm. 27. ISBN 9789794336144.
- ^ Zvi Ben-Avraham, "Structural framework of the Sunda Shelf and vicinity" Structural Geology (January 1973) abstract; Monk, K.A. (1996). The Ecology of Nusa Tenggara and Maluku. Hong Kong: Periplus Editions Ltd. hlm. 10. ISBN 962-593-076-0.
- ^ va Bemmelen, R.W. (1949). The Geology of Indonesia. Vol. IA: General Geology of Indonesia and Adjacent Archipelagoes. Matinus Nithoff, The Hague, 723 pp.
- ^ KEN (2010-10-29). "Menyingkap Fajar Sejarah Sumatera". Kompas.com. Diakses tanggal 2017-10-20.
- ^ Utomo, Yunanto Wiji (2013-03-13). "Manusia Purba Punah akibat Kurang Bergaul". Kompas Cyber Media. Diakses tanggal 2017-10-21.
- ^ Underdown, Simon (10 April 2015). "Brookes Research Finds Modern Humans Gave Fatal Diseases to Neanderthals". Oxford Brookes University news. Diakses tanggal 2017-10-22.
- ^ Zuhri, Amiruddin (2012-06-13). "Mengapa Manusia Purba Punah? Ini Jawabnya". Solopos Digital Media. Diakses tanggal 2017-10-21.
Sekian penjelasan tentang Homo e. soloensis - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas semoga info ini bermanfaat salam
tulisan ini diposting pada kategori , tanggal 18-09-2019, di kutip dari https://id.wikipedia.org/wiki/Homo_e._soloensis